GUNUNG KLABAT – HABITAT MACACA NIGRA YANG TERSAKITI

Membayangkan menulis sebuah jurnal perjalanan ketika kita masih berada di dalam perjalanan itu adalah hal yang menyenangkan tetapi setelah melakukan perjalanan itu untuk sekedar mengerahkan kursor ke shortcut MS. Word pun terasa sangat berat lebih dari perjalanan itu sendiri. Baiklah perjalanan ini bercerita tentang pendakian saya dan kawan-kawan KPG Regional Sulut di Gunung Klabat, Kabupaten […]

Read more "GUNUNG KLABAT – HABITAT MACACA NIGRA YANG TERSAKITI"

KARAKTERISTIK RUANG KRIMINALITAS DI KOTA MANADO

Kriminalitas merupakan segala macam bentuk tindakan dan perbuatan yang merugikan secara ekonomis dan psikologis yang melanggar hukum yang berlaku dalam negara Indonesia serta norma-norma sosial dan agama. Dapat diartikan bahwa tindak kriminalitas adalah segala sesuatu perbuatan yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. (Kartono, 2009). Kriminalitas merupakan dampak dari berbagai masalah kepadatan di wilayah perkotaan. Kriminalitas muncul dari berbagai macam sumber seperti, rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka pengangguran, kesenjangan ekonomi. Selain itu penegakan hukum yang lemah menambah pelik permasalahan kriminalitas di perkotaan. Meningkatnya tindak kriminalitas di kawasan perkotaan tentunya membutuhkan penanganan yang serius dari berbagai stakeholder terkait. Dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kendali wilayah perkotaan harus melakukan prosedur untuk meminimalisir tindak kriminal yang terjadi di wilayahnya.

Dampak dari tindak kriminalitas telah menelan jutaan biaya setiap tahun seperti untuk pembayaran asuransi, polisi, pengadilan, pemasyarakatan, penggantian kerugian dan berbagai hal lainnya yang terkait dengan tindak kejahatan. Hal-hal tersebut tentu sangat merugikan jika tindak kriminal tersebut terus terjadi dan berulang. Tindak kejahatan di kawasan perkotaan harusnya dapat dicegah terlebih dahulu.

Terdapat beberapa faktor yang kompleks berkontribusi pada ketidakamanan di dalam kota, seperti kondisi ekonomi dan sosial secara umum merupakan penyebab utama, tetapi keamanan juga berdampak pada lingkungan fisik kota. Hal itu tergantung pada bagaimana sebuah kota direncanakan, didesain dan dibangun. Dengan cara dimana masyarakat yang mengidentifikasi kondisinya dengan lingkungan dimana mereka tinggal. Pengaturan mengenai lokasi berdampak pada tingkat keamanan, dimana hal tersebut dapat berkontribusi dalam membuat sebuah kota menjadi lebih aman, atau menjadi lebih berbahaya. Tindak kriminal tidak hanya terjadi di ruang-ruang yang sifatnya privat tapi seringkali juga terjadi di ruang-ruang publik kota. ruang publik yang tidak direncanakan dengan baik dapat memicu terjadinya tindak kriminal. Dalam proses perencanaan sendiri aspek keamanan terhadap tindak kriminalitas seringkali diabaikan karena tindak kriminal terjadi pada tempat-tempat informal.

Dalam kajian-kajian perkotaan ruang merupakan domain utama dalam perencanaan kota yang sangat berperan dalam tindak kriminal. Ruang dapat memberikan kesempatan kepada oknum-oknum kriminil untuk melakukan tindak kriminal sehingga ruang dapat dikatakan berperan aktif dalam sebuah tindak kriminal (Shaw dan McKay, 1942).

Dalam teori Defensible Space yang dikemukakan oleh Newman (dalam Cisneros, 1995) ada 3 hal penting yang membentuk tindak kriminal, yaitu:

  1. Adanya karakter fisik
  2. Adanya bentukan sosial (karakter sosial)
  3. Bertempat di wilayah permukiman.

Konsep defensible space ini sudah diaplikasikan di Amerika dan Eropa sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini cukup terbukti. Dua hal lainnya, karakter sosial dan permukiman merupakan bagian yang saling terkait dengan dua masalah pokok, kemiskinan dan kultural.

Kota Manado merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Utara yang memiliki penduduk yang sangat heterogen. Kota Manado memiliki jumlah penduduk sebesar 423.257 Jiwa dengan komposisi penduduk terdiri dari suku Minahasa, Bolmong, Sangihe, Talaud, Gorontalo, Maluku, Bugis, Makassar, Jawa dan suku-suku lainnya di Indonesia. Kota Manado sendiri merupakan kota terbesar jumlah penduduknya dibandingkan dengan kota ataupun kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Utara. Tetapi di tengah maraknya pembangunan di pusat-pusat aktivitas kota Manado dapat juga memicu terjadinya tindak kriminalitas yang sudah tentu menjadi kendala dalam pembangunan itu sendiri. Dari data statistik kriminalitas diketahui bahwa pola perkembangan kriminalitas di Provinsi Sulawesi Utara sama dengan pola perkembangan kriminalitas secara nasional, dalam hal ini pola perkembangan kriminalitas nasional cenderung bergerak naik.

Dari data statistik kota Manado diketahui bahwa tindak kriminalitas yang terjadi dalam lima tahun terakhir mengalami mengalami penurunan. Untuk tindak kriminalitas yang dilakukan dalam konteks ruang kota juga mengalami hal yang serupa. Penurunan tindak kriminalitas di kota Manado terjadi salah satunya karena faktor penanggulangan tindak kriminal yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait seperti, pemerintah, kepolisian dan masyarakat.

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir masyarakat kota Manado seringkali diresahkan oleh tindakan-tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh individu maupun kelompok-kelompok orang. Dilihat dari jenisnya tindak kriminal yang sering terjadi di wilayah kota Manado seperti pencurian, penjambretan, perampokan, pemalakan/penodongan, pembunuhan dan tawuran antar kampung. Berbagai latar belakang menjadi motif atas tindak kriminal tersebut. Tindak kriminal tersebut dilakukan hampir di seluruh wilayah kota dilakukan baik dengan terpola maupun sporadis. Permasalahan kriminalitas di wilayah perkotaan membuat aktivitas bisnis dan kehidupan publik mengalami kemunduran yang berdampak pada pembangunan perekonomian wilayah.

Berkembangnya kota menyebabkan perubahan-perubahan yang sangat signifikan pada setiap aspek kehidupan kota yang kemudian menjadi sebuah karakteristik tersendiri dari sebuah kota. Kota dengan perkembangan penduduk yang sangat cepat menimbulkan berbagai macam masalah yang kompleks, salah satunya adalah masalah kriminalitas. Tindak kriminal yang terjadi menggunakan ruang-ruang kota sebagai arena kriminalnya. Ruang-ruang kriminal perkotaan secara fisik dapat dilihat dari ciri-cirinya. Menurut Jeffrey (dalam Geason dan Wilson, 1989) bentukan sebuah kawasan yang aman merupakan kawasan yang secara tidak langsung mampu melakukan pengawasan terhadap lingkungannya sendiri dengan bentukan desain-desain seperti bangunan, jalan, pagar, penerangan dan penanda.

Karakteristik fisik di kota Manado saat ini menunjukan karakter fisik yang memungkinkan terjadinya tindak kriminal seperti, ribuan lampu jalan sebagai penerang dan penghias kota nyaris tidak berfungsi. Sepanjang jalan dari bandara, lampu jalan yang menyala dapat dihitung dengan jari. Sejumlah jalan protokol juga tampak buram. Kehidupan malam hanya terlihat di ruas jalan Boulevard, yang cahaya lampunya berpendar dari pertokoan dan pusat perbelanjaan di kawasan itu. Gelapnya Manado yang berpenduduk 423.257 jiwa itu memicu tingkat kerawanan terhadap kriminalitas di Kota Manado, selain itu tawuran antarwarga kampung serta kasus penganiayaan terjadi di mana-mana setelah pelaku meneguk minuman keras tradisional, captikus.

Berdasarkan Catatan Polres Kota Manado tahun 2015, terjadi 997 kasus tindak kriminal dan yang paling dominan adalah tindak penganiayaan yang hampir mencapai 40%. Beberapa kasus penganiayaan itu merengut korban jiwa akibat benda tajam. Sebagian pelaku penganiayaan adalah anak-anak muda berusia belasan tahun. Kriminalitas itu membuat Kota Manado terasa tak nyaman. Kota sebagai wadah masyarakat dalam berkegiatan menjadi terganggu akibat tindakan-tindakan melawan hukum tersebut akibatnya proses untuk mewujudkan visi kota Manado menjadi kota model ekowisata pun menjadi terganggu.

Peta Tingkat KriminalitasDari hasil analisis, tingkat kriminal di kota Manado ada 5 tingkat kriminal. Dan kategori yang muncul dari 5 tingkat itu yaitu sangat tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Dan aspek yang paling mempengaruhinya adalah aspek non fisik. Salah satu fakta yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh rasial terhadap penggunaan ruang sehingga menciptakan ruang-ruang fisik maupun sosial yang cenderung menyebabkan segregasi dan mengakibatkan terjadinya tindak kriminal.

Kota Manado sejak dahulu dikenal sebagai kota dengan tingkat toransi paling tinggi di Indonesia dan seringkali menjadi rujukan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Dibalik wajahnya yang ramah dengan semboyan Torang Samua Basudara (kita semua bersaudara) ternyata kota Manado menyimpan sebuah sisi kelam yang telah lama tertanam dan seakan tidak nampak. Secara jelas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kawasan-kawasan dengan tindak kriminal paling tinggi terdapat di wilayah bagian utara. Jika merujuk pada fakta yang ditemukan di lapangan bahwa kawasan-kawasan Manado bagian utara menjadi bagian yang paling timpang jika dilihat dari pemerataan pembangunan di kota Manado.

Dalam konteks identitas sosial yang berkembang di masyarakat kota Manado, wilayah Manado bagian utara identik dengan istilah Sabla Aer. Istilah tersebut merupakan bahasa Melayu-Manado yang disematkan kepada penduduk Manado yang berasal dari Kepulauan Sangihe Talaud, Gorontalo, Bugis, Jawa dan Ternate. Istilah tersebut tidak hanya merujuk pada keterangan lokasi saja tetapi berkonotasi negatif merujuk pada golongan masyarakat kelas dua.

Sejarahnya Manado adalah wilayah nusantara yang paling kebarat-baratan dan mayoritas menganut ajaran kristiani sehingga ikatan sosial yang berkembang di masyarakat pada waktu itu tersegregasi dengan adanya pembedaan kelas sosial antara kelompok pribumi (Minahasa) dengan pribumi lainnya yang non Minahasa dan Non Kristen. Istilah Sabla Aer yang berkembang tersebut menunjukkan ketangguhan salah satu kelompok/suku di Manado yang pada akhirnya sekarang penduduk kota Manado secara nyata masih terpisahkan oleh sekat-sekat yang tak nampak tersebut. dampaknya adalah pada peningkatan tindak kriminal dan kerawanan yang terjadi di wilayah-wilayah pinggiran kota yang notabenenya merupakan kawasan-kawasan campuran. Hal ini mengkonfirmasi apa yang dikemukakan oleh Jankowski (1991) bahwa karakter rasial suatu komunitas akan menjadi permasalahan kultural yang berujung pada tindak kriminalitas.

Secara umum angka tindak kriminal di kota Manado cenderung turun dalam lima tahun terakhir (Polres Manado, 2015). Menurunnya angka tindak kriminal di kota Manado tidak lepas dari berbagai upaya penanganan tindak kriminal oleh pihak kepolisian dan pemerintah melalui program-program keamanannya baik secara preventif maupun secara represif.

Dari hasil analisis peneliti menemukan bahwa beberapa kecamatan memiliki tingkat kerawanan yang berbanding terbalik dengan tingkat kriminalitasnya. Kecamatan Malalayang memiliki tingkat kerawanan terhadap tindak kriminal yang cenderung tidak begitu tinggi tetapi memiliki angka tindak kriminal yang paling tinggi di kota Manado. Sebaliknya kecamatan Tuminting memiliki angka kriminalitas yang rendah dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lainnya tetapi memiliki tingkat kerawanan yang paling tinggi di kota Manado.

Tingkat kerawanan dipengaruhi oleh faktor fisik dan non fisik. Faktor-faktor fisik seperti kepadatan bangunan yang tinggi, jenis penggunaan lahan campuran, aksesibilitas dan pencahayaan yang kurang memadai di malam hari dapat membentuk lingkungan sebuah kawasan menjadi rawan terhadap tindak kriminal yang memberikan kesempatan kepada pelaku kriminal untuk melakukan tindak aksinya (Jeffrey, 1972). Pelaku-pelaku kriminal kebanyakan muncul dari bentukan-bentukan lingkungan seperti ini. Kondisi tersebut kemudian didukung oleh aspek non fisik seperti kepadatan penduduk yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang tinggi membuat sebuah wilayah semakin rawan terhadap tindak kriminalitas (Adang, 2010).

Masing-masing kecamatan memiliki karakteritik kriminal sesuai dengan faktor-faktor tersebut. Kecamatan-kecamatan dengan penggunaan lahan yang didominasi oleh permukiman padat penduduk seperti kecamatan Tuminting rawan dengan tindak kriminal penganiayaan. Hal tersebut disebabkan tindak penganiayaan yang terjadi tercipta dari lingkungan fisik dan sosial yang tidak kondusif sehingga memicu terjadinya tindak kriminal. Berdasarkan analisis pada bagian sebelumnya diketahui bahwa beberapa titik di kecamatan Tuminting memiliki karakter ruang yang criminalgenic khususnya jenis kriminal penganiayaan. Kota Manado sendiri sebagian besar tindak kriminal penganiayaan ini muncul akibat dari pengaruh minuman keras dan sebagian dari pelaku tersebut adalah anak-anak remaja. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Adang (2010) yang mana kejahatan dapat terjadi oleh anak-anak remaja yang merasa tidak puas dengan lingkungannya. Di kota Manado minuman keras dapat dengan mudah kita jumpai mulai dari warung kecil hingga supermarket. Di satu sisi pihak kepolisian melalui program “Brenti Jo Bagate” sudah menghimbau agar konsumsi minuman keras diatur sedemikan rupa agar tidak menimbulkan permasalahan kriminalitas tetapi di sisi yang lain pemerintah kota Manado memberikan izin usaha kepada pemilik modal untuk membangun pabrik-pabrik minuman keras di wilayah kota Manado. Minuman keras sendiri sudah mejadi bagian yang tak terpisahkan atau dapat dikatakan telah menjadi “budaya” dalam kehidupan masyarakatnya.

Untuk tindak kriminal seperti pencurian sangat jarang terjadi di wilayah permukiman yang tumbuh secara alamiah seperti perkampungan yang ada di kecamatan Tuminting karena adanya fungsi pengawasan dan kontrol oleh masyarakat yang ada di dalam sebuah lingkungan sehingga jika terdapat sebuah kejanggalan masyarakat dengan mudah dapat mengidentifikasinya. Disini fungsi dari masing-masing kelompok masyarakat sangat dibutuhkan. Tingkat terkecil dalam sebuah administrasi wilayah di kota Manado adalah lingkungan yang diketuai oleh seorang kepala lingkungan. Lingkungan permukiman yang senantiasa hidup dan saling berinteraksi dapat memberikan efek pengawasan yang lebih baik. Ini merupakan representasi dari operasionalisasi konsep pengawasan alamiah seperti yang diungkapkan oleh Jeffrey (1972), Jacobs (dalam Geason dan Wilson, 1989) dan Woods (dalam Sudiadi, 2015). Berbeda dengan yang da di kecamatan Tuminting beberapa permukiman di kecamatan Malalayang dan Wenang menjadi rawan terhadap tindak kriminal pencurian kendaraan bermotor. Dilihat dari jenisnya permukiman tersebut merupakan permukiman yang telah bertransformasi menjadi permukiman yang bercampur dengan usaha kos. Kos merupakan tempat tinggal yang sifatnya sementara sehingga penduduk yang tinggal di tempat tersebut kurang memiliki tanggungjawab yang lebih terhadap lingkungan sekitar. Ditambah lagi dengan kurangnya fasilitas pengamanan di lokasi kos-kosan membuat kawasan tersebut menjadi sangat rawan terhadap tindak kriminal. Kenyataan ini berbeda dengan yang diungkapkan oleh Jacobs dalam Geason dan Wilson, 1989) yang mana konsep mixed-use dapat meminimalisir kesempatan orang berbuat tindak kriminal.

Faktor lain dari tingginya tingkat kriminalitas di sebuah wilayah adalah penanggulangan tindak kriminalitasnya baik secara fisik maupun non fisik yang dilakukan dengan upaya-upaya preventif maupun represif. Dari hasil pengamatan peneliti menemukan bahwa hanya pada lokasi-lokasi tertentu yang melakukan pencegahan tindak kriminal dengan melakukan setting terhadap lingkungan fisiknya seperti kawasan bisnis B on B di kecamatan Wenang. Pendekatan dengan sistem ini memang belum dikenal luas oleh publik di Indonesia khususnya di kota Manado sehingga dalam implementasinya hanya terdapat pada kawasan-kawasan tertentu saja. penanggulangan dengan setting fisik terbukti berhasil pada beberapa kawasan di kota Manado. Hal ini membenarkan apa yang dikemukakan oleh Jeffrey (1972)  dan ACT Crime (2000). Selain itu sistem keamanan setempat seperti siskamling, bhabinkamtibmas dan babinsa juga berfungsi preventif dan represif dalam mencegah maupun menanggulangi terjadinya tindak kriminal. Jika sistem ini berfungsi dengan baik maka dapat menurunkan tindak kriminal yang terjadi di suatu wilayah. Selama ini penanganan masalah kriminalitas dilakukan secara konvensional melalui pendekatan dan mekanisme hukum yang berlaku di sebuah wilayah seperti sosialisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kriminalitas, patroli dan razia rutin dan pemberian hukuman kepada pelaku kriminal. Dalam kasus kota Manado secara holistik tindak kriminal yang terjadi cenderung mengalami penurunan karena semakin tingginya intensitas sistem tersebut diberlakukan. Peneliti berargumen bahwa sistem yang diterapkan melalui program-program tersebut tidak dapat berlangsung secara konsisten selama beberapa waktu ke depan karena sistem yang diberlakukan tergantung pada pimpinan masing-masing institusi. Secara legal formal peraturan yang diberlakukan adalah baku tetapi dalam pelaksanaannya harus melalui persetujuan institusi dengan berbagai pertimbangannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2012. Sosiologi: Sistematika, Teori, dan Terapan. Jakarta: Bumi Aksara.

Adang, Yesmil Adam. 2010. Kriminologi. Bandung: Refika Aditama.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Astuti, Nur Widi. 2014. Analisis Tingkat Kriminalitas di Kota Semarang Dengan Pendekatan Ekonomi Tahun 2010-2012. Semarang: UNDIP.

Canter, David V. 1996. The Environmental Range of Series Rapist. Yorkshire: University of Huddersfield.

Clark, Philip J. dan Francis C. Evans. Distance to Nearest Neighbor as a Measure of Spatial Relationship in Populations. 2003: JSTOR.

Kaly, Ursula, Craig Patt dan Jonathan Mitchell. The Enviromental Vulnerability Index. 2004. South Pacific Apllied Geoscience Commision.

Fajri, Muhammad Nur. 2009. Kriteria Perancangan Ruang Publik yang Aman Bagi Anak-Anak di Kawasan Simpang Lima. Semarang: UNDIP.

Fischer, Claude S. 1995. The Subcultural Theory of Urbanism: A Twentieth-Year Assessment. Chicago: The University of Chicago Press.

Fitriani, Siti Makiah. 2004. Penggunaan Ruang Pada Suku Sasak di Desa Puyung Kabupaten Lombok Tengah. Yogyakarta: UGM

Geason, Susan and Paul R. Wilson. 1989. Designing Out Crime: Crime Prevention Through Environmental Design. Canberra:Renwick Pride Pty Ltd.

Jacobs, Jane. 1989. The Death and Life of Great American Cities. New York: Vintage Books.

Jankowski, Martin Sanchez. 2003. Gangs and Social Change. London: SAGE Publications.

Jayadinata, Johana T. 1993. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB.

Kartono, Kartini. 2009. Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Logan, John R dan Harvey L. Malotoch. 1987. Urban Fortunes The Political Economy of Place. London: University of California Press, Ltd.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.

Newman, Oscar. 1996. Creating Defensible Space. New York: Institute for Community Design Analysis.

Pradinie, Karina. 2011. Pola Ruang Kriminalitas Kota. Yogyakarta: UGM

Soetomo. 2013. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahanya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudiadi, Dadang. 2015. Pencegahan Kejahatan di Perumahan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Syam, Alfian Afandy. 2009. Aspek Spasial Kejahatan Perkotaan. Yogyakarta: UGM.

United Nation – International Strategy for Disaster Reduction. 2004. Living With Risk: A Global Review of Disaster Reduction Initiatives. UNISDR.

Usaratri, Dyah Ayu. 2009. Local Community Crime Prevention System to Urban Crimes In Indonesia. Yogyakarta: UGM

Yunus, Hadi Sabari. 2012. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Paternoster, Raymond dan Shawn D. Bushway. 2001. Theoretical Work on the Relationship Unemployment and Crime. Journal of Quantitative Criminology.

Paulsen, Derek J. 2013. Crime and Planning: Building Socially Suistainable Communities. Chicago: CRC Press.

Rapoport, Amos. 1997. Human Aspect of Urban: Toward a Man Environment Approach to Urban Form Design. Pergamon Press Oxford.

Retno. 2007. Analisis Ketersediaan dan Kapasitas Pemenuhan Infrastruktur di Kawasan Bisnis Beteng Surakarta. Semarang: UNDIP.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Manajemen. Yogyakarta: Alfabeta

Sumampouw, Nono S.A. 2015. Menjadi Manado: Torang Samua Basudara, Sabla Aer, dan Pembentukan Identitas Sosial. Yogyakarta: UGM Press.

Wirth, Louis. 1938. Urbanism as A Way of Life. Chicago: The University of Chicago Press.

Yin, Robert K. 2002. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

KARAKTERISTIK RUANG KRIMINALITAS DI KOTA MANADO

Read more "KARAKTERISTIK RUANG KRIMINALITAS DI KOTA MANADO"